Wednesday, 7 May 2014

Pengalaman ke THT

Senin, 28 April 2014
     Memang ini bukan kegiatan akhir pekan, tapi aku rasa nggak apa-apa kalau aku share sedikit pengalaman.
     Ini tentang THT: telinga, hidung, tenggorokan. Loh kenapa?
     Jadi gini, beberapa bulan yang lalu, bagian kepala sebelah kanan terasa sakit. Seperti migrain, tapi bukan (atau iya?). Kadang gigi bagian geraham dalam, kadang telinga, kadang tenggrokan, kadang kepala bagian atas, kadang kepala bagian belakang .... Menyiksa! Dan semuanya terjadi di sebelah kanan.
     Aku sendiri heran, bagaimana mungkin aku bisa bertahan lebih dari tiga bulan menghadapi hal semacam itu? Ok fine, rasanya memang nggak sakit bangeeetttt, tapi cukuplah masuk kategori menyiksa. Minum obat? Udah. Tapi, cuma obat pereda nyeri, mulai dari obat migrain sampai obat sakit gigi. Tapi tetap saja, tiada berubah.
     Beberapa hari yang lalu, teman kantor kasih saran. Sebut saja Mbak Eka (nama disamarkan). Katanya, saudaranya juga pernah ngalamin hal kayak gitu. Dia parno sendiri, jangan-jangan itu penyakit syaraf. Lalu, saudaranya ke dokter dan terlihatlah ada sebuah benda, kecil dan lembut, yang bersarang di telinga bagian kanan. Tahu apa itu? Kapas cotton bud!
     Huaw, bagaimana bisa benda sekecil itu bikin nyeri sebesar itu??? Tapi, ya itulah yang terjadi, Teman. Dokter menyarakan periksa langsung ke THT. Tanpa ba bi bu be bo, saudara Mbak Eka langsung ke THT. Nggak ada sepuluh menit, nyeri ilang, Sodara-Sodara! Alhamdu ... lillah *nyampirin syal*.
     Setelah dengar itu, aku pun tanpa ba bi bu be bo langsung nyiapin bujet buat ke THT. Tanya kanan kiri, katanya ada yang sampai 500.000. Tapi, ada pula yang cuma 200.000. Alamak, padahal kata Mamak, dulu cuma 10.000 rupiah. Zaman SD.

Aral melintang
     Bujet udah, lalu apa donk masalahnya? Yah, sebagai pejuang 8 to 5 yang baik hati, cuma akhir pekan aku bisa memiliki waktu luang. Pukul 9 pagi, langsung cus ke TKP: klinik THT. Aku lihat banyak apotek sekaligus tempat praktik dokter bersama di sekitar perempatan Kentungan. Kayaknya, sih, di situ ada juga dokter THT.
     Pukul 9 pagi, dandan cantik, siap nunggu Babang. Dag dig dug di jalan, sakit nggak yaaa. Terkahir kali ke THT itu ... beberapa tahun lalu, saat SD. Udah lupa donk gimana rasanya.
     Sampai di sana, aral melintang terjadi. TUTUP! CLOSED! Praktik dokter THT cuma Senin-Jumat. Okeh, masih banyak apotek. Jalan lagi, jalan terus ... semuanya nggak ada yang buka parktik ketika weekend. Oh God, cobaan apa lagi yang Engkau berikan?
     Mau tak mau, nunggu hari Senin. Pokoknya musti kudu wajib ke THT! Nyeri ini bahkan memengaruhi konsentrasi kerja *ciyeh, kayak pernah konsen aja*. Pulang kerja, langsunglah daku mampir ke apotek lagi. Langsung daftar dan tanya ke embak yang jaga, “Mbak, dokter THT jam berapa, ya?” Sebenarnya, sih, aku udah tahu kalau jam kerja dokternya mulai pukul 17.00. Lha wong terpampang nyara di plang depan. Tapi, basa-basi dikitlah :D.
     “Jam setengah tujuh, Mbak.”
What? Bukannya di depan jelas tertulis kalo jam 5 sore? Kok molor pukul setengah tujuh?
     “Oh gitu, ya udah, Mbak. Aku tunggu aja. Atau nanti saya balik sini.”
     Yap, dan keluarlah saya dari apotek, nyari makan dulu dan tempat shalat. Nanggung kalau musti balik ke kos.

Proses
     Skip, pukul setengah tujuh, aku udah duduk manis di ruang tunggu. Bersama dua embak yang juga nunggu. Juga keluarga kecil berbahagia yang juga nunggu.
    Lima belas menit menunggu, datanglah seorang mas yang langsung gitu aja naik ke lantai dua. Nggak ada firasat apa-apa. Ah, itu siapa, sih? Paling apoteker. Dan ternyata, doi adalah dokter THT! Kok tahu? Yoi, selang lima menit, embak penjaganya manggil namaku dan ngasih map serta nomor ruangan yang musti aku tuju. Setelah buka pintunya, ternyata ... mas-mas tadi duduk manis di ruangan.
     Dag dig dug, kali ini deg-degan bukan ngebayangin sakitanya disogok sama besi panjang, tapi ... dipegang-pegang sama mas dokternya *aish*. Oke, kayaknya "pak" sih, bukan "mas". Mmm, mas menuju pak. Oke, whatever. Masalahnya, masak dipegang-pegang gitu. Belum muhrim, bo! Hehehe .... *nggaya*.
     Setelah duduk, mas/pak dokter langsung tanya ini itu. Aku jawab itu ini. Lalu, langsunglah diperiksa telinga aku. Sambil diperiksa, aku cerita soal saudara Mbak Eka. Dokternya cuma manggut-manggut. Lalu bilang, “Ya itu bisa juga, tapi ini nggak kok.”
     Fiuh, syukur deh. Tapi tetap mikir juga, sih. Kalau bukan karena itu, lalu apa yang membuat nyeri di kepala ini?

Hasil
     Skip skip skip.
     Pemeriksaan selesai. Mas/pak dokter berpesan kalau bersihin telinga nggak boleh dalam-dalam. Telinga dan bagian tubuh itu pintar, bisa bersihin dirinya sendiri. Mas/pak dokter juga bilang kalau cotton bud itu cuma boleh dipakai buat telinga luar (dan bagian tubuh luar lain). Kalau telinga sudah meresa enak, itu tandanya cotton bud musti segera dicabut, jangan malah keenakan dan diterusin. Bahaya! Oke siap, mas/pak!

Bujet
     Nah, ini bagian yang menegangkan. Selesai diperiksa dan dibersihin, mas/pak dokter kasih map yang sudah ditulisi resep obat. Langsung aja aku ucap terima kasih dan segera turun ke apotek. Ngasih map itu ke apoteker dan nunggu lagi. Deg-degan lagi. Duh, gimana yaaa. Tadi bujet 500.000 kan udah kepake juga buat bayar makan. *Kayak makannya di resto Korea aja. Cuma mi ayam pinggir ayam jugak :D*
     Dan, dipanggillah namaku. Dengan pede, aku menuju apoteker dan diberilah obat tetes telinga untuk dua hari. Lalu, aku disuruh nunggu lagi. Sambil nunggu, aku baca keterangan di obat itu. Dua tetes x dua kali sehari. Fungsinya biar telinga nggak infeksi setelah disogok sama besi panjang yang buat bersihin telinga. Oke deh, nggak apa-apa.
     Tak ada lima menit, namaku dipanggil lagi. Ini nih ... ini .... Debaran jantung mulai terasa. Deg deg deg .... Embak apotekernya ngasih nota ke aku dan dengan membahana berkata, “171 rupiah, Mbak.” Legaaaaaaaaaaa ... lebih dari apa pun. Langsung aku baca nota itu dan ternyata benar, tertera angka 171.000. Dengan senyum aku keluarin uang 200.000 dan dengan santai nunggu kembalian.
     Alhamdulillah.

Hasil
     Sudah seminggu lebih dan aku memang merasakan perbedaannya. Entah ini hanya sugesti atau memang aku udah sembuh. Tapi selebihnya, aku bersyukur sekarang semua kembali normal. Telinga tak lagi terasa penuh. Nyeri berkurang (hampir nggak ada). Aku bisa mendengar nyanyian alam dengan jernih. Terima kasih, ya Allah. Mungkin Engkau harus membuat rasa nyeri agar aku sadar betapa berharganya telinga ini J.

Ps: Tahu nggak, siiihhh. Sabtu sore aku lewat Apotek UGM. Dan you knooowww, buka praktik dooonkkkk buat hari Sabtu, mulai pukul 09.00-10.00. Eyuwh, ngapain musti jauh-jauh ke Kentungan? Hfffttt ....



No comments:

Post a Comment