Friday, 30 May 2014

Baskom: Bakso Komplet

Minggu, 25 Mei 2014
     Ada satu warung bakso yang bikin aku penasaran. Kayaknya ini baru buka. Sebab, sebulan lalu ke Nglanggeran dan lewat Jln. Wonosari, warung bakso ini belum ada. Nah, kali kedua ke Nglanggeran, warung bakso ini udah terpampang nyata gedhe buanget. Manggil banget.
     Baskom: Bakso Komplit. Akhirnya, sepulang dari Pantai Ngobaran-Nguyahan, mampirlah kami ke warung bakso yang (calon) fenomenal itu.

How to get there?
     Baskom: Bakso Komplit ada di Jln. Wonosari-Jogja km 6.5. Kalau dari perempatan ring road Jln. Wonosari, warung baksonya ada di kanan jalan, sebelum Kids Fun.
     Dengan tulisan Baskom Bakso Komplit gedhe dan keliatan banget pokoknya.
Nggak begitu kelihatan banner Baskom-nya T.T


Mamam dan mimik apa?
     Daftar menunya ada di bawah ini.

Menu

Tagline. Ups sorry, agak mblawur.

     Murah, kan? Dengan tagline pake sapi murni, harga segitu udah yahud banget. Nama menunya juga unik. Mie ayam yang diganti mie pitek (ayam = pitek [Jawa]). Supan untuk susu panas. Pinas untuk kopi panas.
     Porsi? Oke juga. Ada bakso, bakso goreng, irisan tahu, mie kuning, sawi, seledri, dan kuah yang seger. Mie pitek-nya juga banyak banget.
      Rasa? Baksonya empuk, masih ada nggerendel urat. Untuk rasa keseluruhan ... not bad. Rasa bakso emang kayak gitu. Untuk mie pitek, kayaknya pake kuah kuning, bukan kuah manis cokelat. Porsinya banyak.
Seporsi bakso

Seporsi mie ayam



Like/dislike
Parkir luas. Kayaknya ini bisa juga dijadiin rest area gitu. Toilet juga banyak soalnya. Ketika mampir ke sana, ada beberapa rombongan keluarga yang lagi leyeh-leyeh sambil liat hasil jepretan.
Warung luas.
Ada TV flat 21 inchi juga, lho. Lumayan bisa sambil liat acara joget-joget dangdut *asik asik hok ya*.
Pelayanan cepat.
Harga terjangkau banget.
But,
Kalau lantainya pakai ubin, lebih bersih kali ya. Biar kelihatan lebih waw juga.

Bujet
Bakso 8.000
Es jeruk 2.000
Krupuk 1.000 (dua biji)
Parkir 1.000
Total 12.000. Sesuai bujet, lah J.


Ps: Pernah suatu ketika aku lewat Kotagede dan lihat ada Baskom: Bakso Komplit juga. Tapi aku lupa daerah mana. Hehehe. Setelah baca-baca, Baskom punya beberapa cabang. 

Pantai Nguyahan

Minggu, 25 Mei 2014
     “Ini Lombok, ya? Bukan, ini Pantai Nguyahan, Gunung Kidul.”
     Itu adalah ungkapan lain yang aku baca, tetap di media sosial, tentang sebuah pantai di Gunung Kidul. Pantai Nguyahan. Udah main ke Pantai Ngobaran, nggak afdol banget kalau nggak mampir ke pantai ini. Kenapa? Karena jarak dua pantai itu separuh jengkal. Deket banget. Tetanggaan. Tinggal berjalan kurang dari 10 menit, sampailah di Pantai Nguyahan.

How to get there?
     Karena Pantai Nguyahan dekat dengan Pantai Ngobaran, lokasinya sama, yaitu di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Sekitar 2-3 jam kalau dari UGM.
     Rutenya juga sama, yaitu UGM – Ring road Jln. Wonosari – Piyungan – Tikungan Bokong Semar – Hargodumilah – Patuk – Tikungan Irung Petruk (sekarang ada jembatannya lho) – Sambi Pitu – Hutan Tleseh – Lapangan Udara Gading – Pertigaan Gading ke kanan (arah ke Playen Paliyan) – pertigaan kantor kecamatan ke kanan – pertigaan BRI ke kiri – Pusiklat TNI AD – Hutan Sodong – ada pertigaan Alfamart ambil kiri – tetap ikuti jalan – sampai ada pertigaan lagi dengan penunjuk jalan Pantai Ngobaran/Ngrenehan – ikuti jalan aja lagi sampai masuk kawasan Pantai Ngrenehan/Ngobaran/Nguyahan.

Ada apa di sana?
     Walaupun tetanggaan, Pantai Ngobaran dan Pantai Nguyahan memiliki daya tarik yang berbeda. Pantai Ngobaran lebih menonjolkan pura dan tebing karang yang indah. Sementara untuk Pantai Nguyahan ... pasir putihnya itu ... ya ampuuunnn ... manggil banget >.<. Ombak tenang dan jernih, batu karang terlihat. Nggak kalah sama yang di Lombok *padahal belum ke Lombok L*.
     Untuk kuliner khas, sama seperti Pantai Ngobaran, ada landak laut yang katanya punya rasa  mirip daging ayam, tapi kenyal. Ketika ke sana, aku nggak nemu tempat makan yang jual daging landak. Tapi, kalau memang ingin mencicipi, bisa banget minta kepada warga setempat untuk memasakkan landak laut.

Like/dislike
Pasirnya putih. Bersih banget.
Nggak satu pun sampah. Itu wow banget. Pantainya benar-benar bersih.
Air yang jernih ketika pasang. Jadi, bisa main kecipak-kecipak air sampai puasss.
But,
Nggak boleh bawa pulang pasir pantai!
Toilet juga nggak sebanyak di Pantai Ngobaran. Ada baiknya bersih-bersih badan di toilet Pantai Ngobaran saja J.

Bujet 
Bensin 30.000 (karena lumayan jauh dan pake nyasar)
Tiket 5.000
Parkir 2.000
Toliet 2.000
Total pengeluaran utama: 39.000. Sama seperti di Pantai Ngobaran. Tapi, jadi 0 rupiah kalau terusan dari Pantai Ngobaran J.

Foto
Menuju Pantai Nguyahan (dari Pantai Ngobaran)


Batu karang kena air pasang. Airnya jernih dan hangat.

Ada ikaannn



Menjelang sunset




Pantai Ngobaran

Sabtu, 24 Mei 2014
    “Ini Bali? Bukan, ini Pantai Ngobaran, Gunung Kidul.”
Aku pernah baca ungkapan itu di salah satu media sosial. Dengan gambar mbak cantik dan bunga kemboja yang tersemat di telinganya, senyum manis di kamera, latar belakang pura indah dan laut biru. Bali banget, kan? Tapi ternyata nggak, lho. Itu di salah satu pantai di Gunung Kidul. Pantai Ngobaran.


How to get there?
    Pantai Ngobaran terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Sekitar 2-3 jam kalau dari UGM.  Lumayan jauh, ya? Lumayaaannn ... bikin pantat tepos.
     Ancer-ancernya:
UGM – Ring road Jln. Wonosari – Piyungan – Tikungan Bokong Semar – Hargodumilah – Patuk – Tikungan Irung Petruk (sekarang ada jembatannya lho) – Sambi Pitu – Hutan Tleseh – Lapangan Udara Gading – Pertigaan Gading ke kanan (arah ke Playen Paliyan) – pertigaan kantor kecamatan ke kanan – pertigaan BRI ke kiri – Pusiklat TNI AD – Hutan Sodong – ada pertigaan Alfamart ambil kiri – tetap ikuti jalan – sampai ada pertigaan lagi dengan penunjuk jalan Pantai Ngobaran/Ngrenehan – ikuti jalan aja lagi sampai ada tulisan kayak gini:
 
Tulisannya kepotong T.T
     
     Nah, setelah lihat gapura itu dan bayar retribusi sebesar Rp5.000,00 per orang, lanjut lagi jalan sekitar 8 km (tapi 8 km itu kayaknya diukur secara garis lurus, sementara jalannya berkelok-kelok, jadinya ya berasa dua kali lipatnya :D).
     Yang patut disyukuri, banyak banget penunjuk jalan. Kesasar? Keciiilll banget kemungkinannya :D.

Ada apa aja di sana?
     Ada Baliiiiii ... eh, bukan dink. Ada pura dan laut yang mirip banget kayak suasana di Bali. Ada tebing berkarang yang membatasi Pantai Ngobaran dan Nguyahan. Ada juga alba hijau yang bisa dilihat kalau air surut.
     Ada mitos tentang Pantai Ngobaran.
     Konon katanya, Prabu Brawijaya V membakar diri di pantai ini. Alasannya, beliau tidak mau terlibat peperangan dengan Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak yang notabene adalah anak kandungnya sendiri. Nah, dari mitos inilah nama “Ngobaran” berasal (Ngobaran >> kobar >> api). Mitos lain mengatakan bahwa Prabu Brawijaya V hanya berpura-pura membakar diri, bukan benar-benar membakar dirinya sendiri. Dari mitos ini, sudah muncul bibit-bibit mulikulturalisme yang sampai sekarang masih ada. Prabu Brawijaya V menganut kepercayaan Kejawan dan Raden Patah dari Kerajaan Demak menganut agama Islam (Kerajaan Demak adalah satu kerajaan Islam di Nusantara).
     Sebenaranya ini masih menjadi perdebatan. Apa benar mitos itu? Sebab, mitos itu menggambarkan bahwa ajaran Islam meluas dengan jalan kekerasan, sampai-sampai Prabu Brawijaya V harus rela (berpura-pura) membakar diri karena beliau menganut kepercayaan Kejawan. Kejawan adalah kepercayaan peninggal Prabu Brawijaya V, diambil dari nama salah satu putra Brawijaya V, yaitu Bondhan Kejawan.
     Tapi yang pasti, multikulturalisme terlihat kuat di pantai ini. Masjid dan pura yang berdiri berdekatan. Indah banget, seindah pasir dan karang yang mengelilingi Pantai Ngobaran.
     Untuk kuliner khas, aku baca-baca ada yang jual landak laut dan makanan laut lain. Tapi karena tujuan ke Pantai Ngobaran adalah menikmati pura dan pantainya, jadi bujet untuk makan-makan cantik nggak ada. Alias nggak nyobain :D.

Like/dislike
Puranya indah, pantainya ciamik.
Toilet bersih.
But,
Sepanjang tangga ada coretan gitu. Ada beberapa sampah juga di sekitar pantai. Memang ada tempat sampah, tapi ada di atas tebing (kalau ingin menuju pantai memang harus menuruni tebing karang).

Bujet
Bensin 30.000 (karena lumayan jauh dan pake nyasar)
Tiket 5.000
Parkir 2.000
Toliet 2.000
Total pengeluaran utama: 39.000. Sepadan dengan pantai yang eksotis J

Foto













Thursday, 29 May 2014

Dear Prudence

Sabtu, 24 Mei 2014
     Ini kali pertama ngomongin soal buku. Kalau bahasa gaulnya sih: review. Awww ... berasa intelek.
     Jadi gini, semingguan kemarin aku baca buku yang menurutku ... oke banget. Awalnya aku merasa tertipu.  Loh kenapa? Tertipu oleh halaman-halaman awal yang bikin aku mikir kalau ini buku remaja yang ... yah, khas remaja gitu. Remaja menginjak dewasa lebih tepatnya. Gimana kehidupan cintanya, keluarganya, sampe masa magang yang aku kira ... yah, so menye-menye. Tapi ternyata, inspiratif banget, Pemirsa!

Sedikit tentang
     Dear Prudence, novel karya Daniel Faizal. Sebelumnya, aku nggak tahu siapa itu Daniel Faizal dan latar belakang dia (sampe sekarang juga belum tahu secara detail:D). Dampaknya, pikiran liarku terbang ke mana-mana. Aku kira kisah di novel ini adalah kisah nyata. Kalau orang bule bilang: based on true story. Tapi, pas aku gugling dan tanya-tanya, kayaknya bukan kisah nyata, ya? Ini fiktif belaka. (CMIIW, pleaseee ....)
    Kalimat di novel ini ngalir aja. Pake sapaan lo-gue, bokap-nyokap. Ada juga beberapa kata umpatan yang nggak terasa kasar, malah terasa banget akrabnya.
     Novel ini berkisah tentang Irvine Suherman, seorang cowok yang suka banget sama The Beatles. Ini karena bokapnya. Dari kecil, Irvine udah dicekoki sama lagu-lagu The Beatles. Sampe dewasa, dia jadi suka sama lagu-lagu The Beatles. Mood-nya bakalan naik setelah dengar lagu-lagu The Beatles.
     Di novel ini, Irvine suka banget sama cewek yang namanya Anastasia Prudence, teman satu jurusan di DKV (si Irvine ini kuliah di jurusan DKV). Panggilannya Prue. Kebetulan banget, namanya sama kayak salah satu judul lagu The Beatles. Di novel ini, Prue digambarin sebagai cewek yang cantik, atraktif, dan ... aku sih bacanya suka banget sama hal-hal yang dilakuin sama Irvine. Mereka juga sama-sama suka The Beatles
     Selain aksi PDKT sama Prue, di novel ini juga diceritain tentang mimpi besar Irvine. Terinspirasi oleh The Beatles, Irvine pengin banget jadi seorang legend, menciptakan karya yang bisa dikenang orang lain sepanjang masa. Mimpi terbesarnya adalah menjadi mograpf (motion graphic) yang bisa bikin karya-karya besar. Nah, buat mencapai cita-cita itu, segala hal dilakuin sama Irvine. Mulai dai magang di stasiun televisi, nyari kerjaan yang ada hubungannya sama mograph, dan lain-lain (nggak asyik kalau aku beberin di sini :P).
Tapi, bukan mimpi terbesar namanya kalau tanpa halangan. Mulai dari diremehin, dicuekin, sampe rasa egois.
     Ending? R.A.H.A.S.I.A. Nggak asyik banget kalau kasih tahu ending. Berasa makan nasi goreng sapi tapi dimakan dulu daging sapinya. Nggak asyik banget sumpah!

Tentang sedikit
     Setelah baca buku ini, aku jadi memikirkan banyak hal.
     Apa mimpi terbesar aku? Apa iya yang aku lakuin sekarang bisa bikin aku lebih dekat sama mimpi itu? Halangannya apa aja? Apa iya halangan-halangan itu udah bisa aku selesaiin?
     Aku punya mimpi. Dan aku sedang melakukan hal-hal yang bisa membuat aku dekat sama mimpi aku. Halangan? Pasti ada dan aku berusaha banget buat mengatasi halangan itu.
     Sehari setelah aku baca buku ini, semangat itu masih ada. Hingga detik aku menulis hal ini, semangat itu juga masih ada. Nah, pertanyaannya, sampai kapan semangat itu ada?
     Terkadang kita terlalu fokus dengan mimpi besar
     Lalu, bagaimana bila mimpi itu tak kunjung aku gapai?
     Ada satu filosfi yang aku sukai di sini. Ketika Irvine merenungi apa yang telah terjadi, dia ingat satu hal.
     Ketika ia kecil, dia pernah bertanya kepada ibunya, “Mengapa sungai menjadi dua?” Ibunya menjawab, "Sungai menjadi dua karena Tuhan membuatnya begitu, agar ikan-ikan bisa berenang ke mana pun mereka mau." Awalnya Irvine nggak paham, tapi setelah dia mengalami suatu hal besar, pahamlah dia: Tuhan membagi aliran itu agar ikan-ikan memiliki pilihan untuk menentukan arah. Tapi, ikan-ikan tidak menentukan aliran mereka sendiri, Tuhan menunjukkan tikungan arus yang harus mereka pilih. 
     Jadi, ketika Tuhan tidak mengabulkan mimpi kita, yakinlah bahwa tangan Tuhan tengah membawa kita menuju mimpi lain yang lebih besar.
     Seperti Irvine yang mengagumi jalan Tuhan, aku pun pasti juga akan mengagumi jalan-Nya.

Hal-hal yang bisa aku petik
1. Kita terlalu fokus pada hal besar, sampai hal yang kecil kita lupakan. Padahal, hal kecil itulah yang membuat kita bisa melakukan hal besar.
2. Segera tembak gebetanmu :P.
3. Hapus rasa egois. Sumpah, itu kayak batu besar yang ngganjel jalannya sampah di selokan.
4. Bila Tuhan tak mengabulkan mimpimu, jangan menyerah dan jangan salahkan Dia. Pasti ada hal baik di balik itu semua.





Wednesday, 28 May 2014

Capry Cake & Bakery

Senin, 19 Mei 2014
     Momen spesial, pengin ngerayain pake hal yang spesial? Bisa banget.
     Jadi gini, beberapa minggu lalu, salah satu teman aku lagi ulang tahun. Nah, beberapa hari sebelumnya, aku lihat ada diskonan yang oke buat ngerayain hari spesial.
     Capry Cake & Bakery namanya.

How to get there?
     Capry Cake & Bakery ada di Jln. Anggaya II/no 84 Condong Catur. Jalan masuknya: ring road Gejayan ke utara – perempatan beringin ke timur  – belok utara (belok kiri) – lurus aja sampai kanan jalan ada ruko yang tulisannya kayak gini:



Mamam apa aja?
     Aku hanya deal satu kue, yaitu Rainbow Tropical. Bentuknya kayak gini.

     Jadi, itu rainbow cake dengan toping buah: strawberry, peach, anggur, cherry, kiwi. Seger buanget. Enak buanget. Kenyang buanget.

Like/dislike
     Mmmm, aku mau paparin apa yang berasa kurang. Karena aku penggemar cake dengan krim yang melimpah,  jadi menurutku krim di Rainbow Tropical ini kurang. Dikit gitu. Atau mungkin ... memang begitu adanya krim di atas rainbow cake?
     But,
     Untuk momen ultah atau lainnya, free cokelat dan lilin loh.  Ntar di atas cokelatnya itu bisa ditulisin apa pun yang kita pengin. Misalnya, nama teman kita yang ultah atau doa-doa apa gitu.
     Rasa, buah, warna ... oke punya! Setidaknya, kue pelangi itu bisa bikin momen spesial makin spesial. Mau lihat senyum semringah kami setelah menggigit potongan Rainbow Tropical dari Capry Cake & Bakery? Ini diaaaa ....

HBD Miaaaa



Ps: parkir gratis. 

Gunung Nglanggeran

Minggu, 18 Mei 2014
     Ini adalah kali kedua aku menjejakkan kaki di Nglanggeran. Kenapa? Kenapa musti Nglanggeran lagi?
     Alasan pertama karena Nglanggeran adalah tempat tinggi PERTAMA yang aku daki. Itu sebuah rekor, loh! Aku bukan seorang petualang. Dan, kalau harus memilih antara gunung atau kos, tentu aku memilih kos. Tapi entah kenapa, kali pertama diajakin ke Nglanggeran, aku langsung mantap berkata, “Oke!”. Kemakan gengsi kali, ya? Tapi setelah aku pikir ulang, mungkin karena satu hal: rasa penasaran mengalahkan rasa malas.
     Alasan kedua, Nglanggeran itu seperti punya daya magis. Nggak tahu kenapa. Kali pertama ke sana, rasanya pengen terus naik dan naik. Nyampe pos 1? Mau ke pos 2. Udah sampe pos 3? Mau ke pos paling atas. Tapi sayangnya, waktu itu udah sore. Karena kurang persiapan (cuma bawa diri, HP, dompet, roti, sama 2 Aqua botol sedang), mau nggak mau cuma satu tingkat di bawah puncak tertinggi Nglanggeran. Itu lebih rekor lagi, loh! Itu kali pertama aku mendaki dan aku bisa mencapai hal setinggi itu. Standin’ o’ fo meh!
     Nah, daya magis itulah yang membuat aku—kami lebih tepatnya (barengan Babang)—pengin ke Nglanggeran lagi. Kami pengiiinnn banget nyampe puncak tertinggi. Sekalian mau maen ke Embung Nglanggeran yang katanya punya sunset yang oke. Pengin beromantis ria gitu (xixixixi). Pukul 2 siang naik, pukul 5 sore udah nyampe bawah. Senja ke Embung Nglanggeran.
     Yosh! Kami pasti bisa!

How to get there?
     Gunung Api Purba Nglanggeran ada di kawasan Baturagung, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk. Dari UGM sekitar 1 jam. Bergantung kondisi jalan.
     Ancer-ancernya:
Ring road Jln. Wonosari ke timur – lurus aja – Kids Fun masih ke timur – sampe pertigaan Piyungan – mulai belok-belok deh jalannya (hati-hati, banyak bus dan truk) – sebelum jembatan, ada jalan ke kiri dan ada petunjuk jalan arah ke Nglanggeran.


Ada apa di sana?
     Semangat, kegembiraan, dan panorama indah. Itu yang ada di sana. Gunung dengan ketinggian 200-700 mdpl itu masih hijau itu sangat eksotis (bagi saya yang jaraaaangggg buanget naik gunung). Ada beberapa gunung yang "mengisi" Gunung Nglanggeran, yaitu Gunung Kelir, Sumber Air Comberan, Gunung Gedhe, Gunung Bongos, Gunung Blencong, Gunung Buchu, Tlogo Wungu, Tlogo Mardhido, Talang Kencono, dan Pamean Gadhung.
     Sebulan tak ke Nglanggeran, beberapa hal berubah. Apa aja?
1. Sistem tiket. Sebulan lalu, harga tiket masih 12 ribu untuk dua orang. Masing-masing 5 ribu dan 2 ribu untuk parkir. Tapi, Minggu kemarin kamu musti membayar tiket seharga 16.000. Ternyata, ada retribusi dari pemda setempat. Tiap orang harus membayar 2 rb. Karena kami datang berdua, kami musti bayar 4 rb. Retribusi dari pemda ini bisa juga dipakai sebagai retribusi terusan ke Embung Nglanggeran. Tapi, harus hari itu juga. Jadi, pengunjung nggak perlu bayar retribusi lagi kalau pergi ke Embung Nglanggeran.
     Tapi, kalau tiket retribusinya ilang atau perginya nggak langsung hari itu juga gimana donk?
     Ya berati pengunjung musti bayar retribusi pemda lagi di Embung Nglanggeran. Kalau aku, sih, agak sayang. Lagipula, dua tempat itu kan berdekatan. Lumayan hemat bensin juga, mumpung sekali jalan. Juga, sepertinya, sih, itu salah satu cara untuk mengenalkan Embung Nglanggeran. Biar lebih populer.
2. Beberapa trek/jalan naik baru. Aku bersyukur banget banget bangeettt ada trek baru ini. Masih jelas banget di ingatan, betapa aku musti ngos-ngosan dan menahan jatuh ketika naik atau turun pake tali. Itu sesuatu yang waw banget. Dengan adanya trek baru ini, nggak perlulah boros keringet dingin karena musti turun pake tali. Syukur banget.
Trek baru, udah ada undak berbatu. 
Di sampingnya ada trek lama. Naik pake tali. Bagi yang nggak pernah ikut Pramuka kayak aku gini, syusyeh, Bo'.



Aral melintang
     Jadi gini, lagi-lagi kami hanya membawa keperluan seadanya. Cuma bawa bekal sama satu botol Aqua ukuran sedang. Pokoknya kami mau menghemat banget. Bekal pun juga beli nasi sayur sama satu buah telur dadar. Untuk minum, kami berani cuma bawa satu karena sebelumnya, banyak sumber air melimpah, banyak slang air gitu. Jadi kami bisa “icip” segarnya air gunung lewat slang-slang itu.
     Sampai di Nglanggeran .... Mulai naik dan naik. Mulai terbiasa dan aku juga mulai bisa naik/turun pake tali. Yipiyeee ... Pos 1 terlewati. Naik lagi menuju pos 2. Nah, di sini, nih, masalah mulai muncul.
     Slang airnya mati!
     Mati pula gue! Lha gimana enggak? Air di botol tinggal seperempat. Sementara, bekal belum dimakan karena rencananya mau dimakan di pos teratas. Sebenarnya, ada bapak penjual air di pos 2. Tapi, aku udah mikir negatif gitu. Pasti harganya mahal. Aqua yang biasanya cuma 2.000, pasti ntar jadi 3.000. Pokoknya negatif banget, deh.
     Babang nyaranin buat turun aja. Tapi, aku tetap bertahan. Semoga di atas masih ada slang yang dialiri air gunung. Akhirnya, kami terus naik.
     “Ya udah, kalo pasang muka bete gitu mendingan kita turun aja,” kata Babang.
     “Nggak, tetep naik aja. Sayang uangnya. Di atas pasti ada slang lagi,” kataku sambil pasang muka lebih bete.
     Iya, sepanjang jalan ke pos 3, mukaku bete banget. Aku emang paling bete kalau nggak ada air. Pikiranku udah terbang ke mana-mana. Cuaca masih sangat cerah dan kami musti naik lebih tinggi. Bekal juga belum dimakan. Gimana ntar kalau misal kecapekan banget dan pengen minum tapi nggak ada air? Itu bete banget sumpah.
     Dan, dasar calon ibu-ibu ya, saat genting gini masih aja mikirin “sayang banget kalo uang tiket yang udah naik itu nggak digunain semaksimal mungkin”. Duh, jahat banget akuuuu >.<
     “Kenapa, sih, nggak mau ngeluarin uang 3.000 aja buat beli minum? Kamu lebih milih haus daripada ngeluarin uang segitu?” tanya Babang yang liat jalanku kayak ogah-ogahan dan muka makin bete.
     Ditanyain kayak gitu, aku diem aja. Agak merasa bersalah juga. Iya juga, ya, daripada pingsan dan nggak bisa nyampe atas. Nggak bisa nikmatin malahan. Tapi, alih-alih mengiyakan pertanyaan Babang, aku malah diem aja. Melihat itu, Babang cuma mengembuskan napas panjang dan berhenti di sebuah batu besar.
     “Aku lapar, nih. Makan yuk,” katanya. Aku mendongak dan lihat Babang yang udah senyum. Ya ampun, kok bisa ya dia tetap senyum gitu padahal aku yang udah bete gini? Rasa bersalah makin menjadi-jadi dan pengin nangis. Akhirnya, aku luluh juga dan ikutan senyum.
     Kami makan di sebuah batu besar di pertengahan jalan menuju pos 3. Enak banget rasanya. Padahal, cuma pake nasi, sayur lodeh, dan telur yang dibagi dua. Hemat berkedok romantis.
     “Kok mendung, ya?” kataku. Babang lihat ke atas dan bilang, “Nggak pa-pa. Bentar lagi juga cerah.”
Dan, lanjutlah kami makan.
     5 menit, 10 menit, 15 menit ... mendungnya nggak hilang juga, malah makin tebal. Mulai panik.
     Serius nih mau ujan? Ini di gunung, Bo’! Kalo ujan, kita mau berteduh di mana? Balik ke pos 2? Udah kepalang jauh. Lanjut ke pos 3? Mmm, seingatku nggak ada tempat berteduh deh di pos 3.
     20 menit ... tik tik tik ... hujan pun turun. Makin paniklah aku. Tapi, Babang tetep senyum aja dan mulai ngebersin bekal. Aku pun mulai bantu seadanya, cepet-cepet gitu.
     “Gimana, nih, kalau ujan? Jalannya, kan, licin. Sepatuku licin,” kataku pengin nangis. Babang cuma ketawa dan ngajakin turun. Aku diem dan nggak yakin.
     “Kok diem? Masih sayang duitnya nggak digunain sampe atas? Sekarang pilih mana, tetep naik tapi licin atau turun aja tapi kita aman?” tanyanya. Aku masih diem.
     “Udahlah, turun aja, ya. Besok-besok ke sini lagi. Daripada nyampe atas tapi kita nggak bisa nikmatin indahnya pemandangan kayak kemarin?” lanjut Babang. Aku senyum kecil dan nurut aja.
     Akhirnya, gagallah sampe puncak teratas.

Setelah merenung
     “Tuhan itu baik. Kamu minta air, dan akhirnya Dia kasih kamu air yang melimpah,” kata Babang sambil senyum tengil. Aku melotot dan sedetik kemudian ketawa.
     Pernah dengar nggak sebuah ungkapan yang bilang kalau “gunung juga mendengar”? Nah, itu dia. Itu yang kami pikir sekarang.
     Aku ingat sebuah cerita seorang teman. Alkisah, dia lagi daki Gunung Merbabu sama teman-temannya. Sepanjang perjalanan, dengan pede-nya dia berkata dalam hati, “Ah, aku bisa kok naik Merbabu. Segini doank. Cemen.” Dan memang iya, dia berhasil sampe puncak dengan kondisi yang masih segar bugar. Tapi, malamnya, dia menggigil hebat. Semua jaket dipake, minuman panas diminum, juga pake selimut tebel banget, tapi tetep aja dia kedinginan. Segala upaya kayak sia-sia. Tetap aja kedinginan.
     Akhirnya, rasa dingin itu sedikit berkurang saat dalam hati dia bercucap maaf sama alam, sama Tuhan. Dia sadar dia udah sombong. Dia khilaf. Akhirnya, rasa dingin itu berangsur hilang.
     Nah, aku pikir, itu juga yang aku alami. Aku bete banget karena nggak ada air. Dan, Tuhan mendengar ke-bete-anku dan Dia memberi aku air. Air yang melimpah. Bersih dari atas.
      Tuhan memang Mahabaik J.

Sedikit tip
1. Jaga perilaku dan jaga bicara. Jangan sombong dan takabur.
2. Bawa minum yang agak banyak. Dua kali ke Nglanggeran, aku pelajari satu hal: air minum itu penting banget.
3. Bawa jas ujan. Persiapan kalau misal hujan. Cuaca di gunung, kan, sering berubah-ubah. Jas hujan ini juga bisa dipakai sebagai tikar kalau udah sampe di puncak atas. Lumayan, nggak bikin celana kotor.
4. Karena toliet cuma ada di bawah, sebelum pos 1 malah, ada baiknya menyalurkan hasrat dulu sebelum naik. Daripada buang “hasrat” sembarangan kalau udah di atas.

Bujet
Bensin 20.000 (patungan @10.000)
Tiket plus parkir 7.000
Total 17.000. Makanan dan minuman bergantung kondiri :P.

Foto

 
Disambut pendopo

Ada baiknya pelajari dulu ini, nih. 

Daftar isi gunung

Banyak banget yang foto di sini

Silakan buang "hasrat" sebelum naik. Toiletnya bersih dan airnya semriwing


Pos 2 setelah hujan

Ps: Badan kami basah karena hujan semakin menderas. Lalu, kami berteduh di pos 2. Nah, setelah hujan berhenti, kami terheran-heran. Kok orang-orang dari pos 3 sampai puncak nggak ada yang basah? Jangan-jangan kami salah sangka. Jangan-jangan ada tempat berteduh di pos 3. Aduh, CMIIW donk. Belum sempat buktiin. Juga, nggak jadi ke Embung Nglanggeran, udah maghrib pas nyampe bawah :(.





Wednesday, 21 May 2014

Mie Ayam Bu Tumini

Sabtu, 17 Mei 2014
     Ini ceritanya dapet kejutan dari Babang. Bingung mau makan siang di mana (dan kebetulan weekend kemarin nggak ada rencana mau pergi ke mana dan free dari kerjaan) dan tiba-tiba ... udah sampe aja di depan sebuah warung mi ayam yang ... kayaknya nggak asing lagi. Pernah lihat di Google soalnya.
     Mie Ayam Bu Tumini. Yesss ... akhirnya, nyobain juga mie ayam yang katanya rame buanget ini.

How to get there?
     Mie Ayam Bu Tumini ini ada di Jln. Imogiri Timur No. 187 Umbulharjo. Deket banget sama Terminal Giwangan, lebih tepatnya di sebelah utara terminal.



Mamam dan mimik apa?
     Mie Ayam Bu Tumini cuma menjual mie ayam. Mau yang mie ayam aja? Ada. Mau yang pake cakar? Ada. Lagi laper banget dan pengen yang jumbo? Ada. Lagi bawa anak kecil dan mau porsi kecil? Ada. Mau nambah ayam? Bisa. Mau sayur sama ayam aja? Bisa banget.
     Lumayan komplet juga aneka “olahan” mie ayamnya.
     Untuk rasa ... bagi lidahku, rasa mie ayam itu ya seperti itu. Mie dengan kuah kaldu ayam yang dimasak dengan bumbu rempah. Yang membuat mie ayam satu dengan yang lain beda itu—biasanya—bumbu dari ayamnya. Mie ayam  yang ada di sini ayamnya dimasak dengan bumbu yang lumayan manis (khas banget Jogja-nya). Warnanya cokelat dan jumlah ayamnya ... lumayan banyak!


     Cukup enak dan bisa diterima lidah. Apalagi dengan kerupuknya.
     Menu-menu di sini dibanderol dengan harga mulai dari 7.000 untuk mie ayam porsi biasa. Masih bisa diterima oleh kantong kan, ya?

Like/dislike
Pelayanannya cepat.
Kerupuknya (1.000) gede banget. Puas banget, lah, buat penggemar kerupuk.
Ayamnya banyak.
But,
Agak gerah. Mungkin karena letaknya di pinggir jalan dan penuh banget. Sampe sungkan mau foto tempat duduk. Habisnya, banyak orangnya. Nggak sopan kalau musti memasang muka orang yang nggak dikenal di blog :D.

Bujet
Mie ayam 14.000 (2 porsi)
Es teh 2.000
Kerupuk 1.000 (1 buah)
Air putih 0
Jadi, totalnya cuma 17.000. Lumayaaannn ... sesuai bujet di bawah 20.000 untuk dua orang J.

Ps: Parkir berbayar, je. 1.000.
                                                                                                                                   



Tuesday, 20 May 2014

Resto Kecombrang "Njawil Lidahmu"

Kamis, 15 Mei 2014
     Ini kali kedua aku ngerasain olahan bunga kecombrang. Bedanya, kali ini hasil diskonan. Hihihi. Ya abisnya, mumpung ada diskonan di Resto Kecombrang “Njawil Lidahmu”, sih. Lumayan kan buat nraktir orang terdekat? *dasar muka diskonan*

How to get there?
     Resto Kecombrang “Njawil Lidahmu” ada di Jl. Abu Bakar Ali no. 2A Yogyakarta, sebelum pertigaan ke perempatan tugu Malioboro (pertigaan yang di atasnya ada rel kereta api) kalau dari Stadion Kridosono. Cukup dekat dari area kampus UGM dan area wisata Malioboro. Boleh, lho, diicip-icip kalau main ke Malioboro.

Mamam dan mimik apa?
     Karena ini diskonan, jadi mau nggak mau, aku musti memesan apa yang didiskon, yaitu Nasi Ayam Suwir Kecombrang dan Mie Tek-Tek Kecombrang. Tanpa diskon, harga makanan di sini lumayan juga. Lumayan bikin mikir-mikir dulu sebelum memutuskan buat beli apa hehehe. Rata-rata di atas 10.000 ke atas. Untuk harga minumannya, paling murah 4.000 untuk es teh.
     Menu yang direkomendasikan adalah Nasi Ayam Suwir Kecombrang (17.500, syukurlah didiskon) dan Es Teler (12.000, tapi nggak pesan itu :D).
     Untuk ukuran makanan yang didiskon, porsinya gedhe banget. Bahkan, suwiran bunga kecombrangnya juga buanyak buanget.


Ayam suwir kecombrang.

Mie tek-tek kecombrang. Suwiran merah itulah bunga kecombrangnya. Banyak, kan?

     Untuk rasanya ... mmm, tetap saja aku nggak bisa suka sama rasa bunga kecombrang >.<. Kalau kata temanku, istilah Jawa-nya: pengar. Bagiku, bunga kecombrang itu rasanya gabungan dari jahe, kencur, bawang merah, cabe, jeruk nipis .... Komplet! Suwiran bunga kecombrangnya malah aku tepi-tepiin. Bagiku, aromanya aja udah cukup. Tak perlulah dimakan. Tapi, karena saking banyaknya, tetap aja ada yang kemakan.
     Namun demikian *wow, serius banget ini konjungsi antarparagrafnya*, bagi penggemar rasa bunga kecombrang, makan di resto ini tentu bisa manjain banget. Karena itu tadi, suwiran bunga kecombrangnya yang banyak banget. Jadi, bisa puas puas puasss banget!
     Terlepas dari rasa bunga kecombrang, rasa Ayam Suwir dan Mie Tek-Tek-nya oke punya. Enak deh kalau aku bilang J.

Aral melintang
     Mmm, aral melintang ini justru soal diskonannya. Ini adalah kali pertama aku makan pake diskonan saat hari-hari awal didiskon. Jadi, tanggal 14 mulai diskon, dan tanggal 15 aku pake voucher-nya. Apa dampaknya?
     Mas-mas barista nggak ada yang paham gimana pake voucher diskonan. Bahkan, yang empunya resto (kayaknya sih yang punya resto itu, soalnya nggak pake seragam) juga nggak ngerti. Biasanya, aku yang dituntun sama mas-mas barista atau yang empunya tempat makan. Tapi kali ini, justru aku yang nuntun mereka.
     “Jadi gini, Mas, Pak. Kemarin aku klik beli di diskon.com (nunjukin web diskon.com). Nah, setelah bayar, aku dapet deh kode voucher-nya (nunjukin SMS). Jadi, untuk menu Nasi Ayam Suwir dan Mie Tek-Tek didiskon 52%. Jadi aku cuma bayar 9.500 dan 8.000.”
     “Oh, gitu to, Mbak.” 
Lalu, mereka masuk lagi. Dan nggak lama, makanan pun dateng. Di tengah menikmati makanan, mereka datang lagi. Kali ini udah bawa kertas yang biasanya buat nyatet diskonan.
     “Oh iya ini, Mbak. Udah dapet pencerahan. Jadi bisa ditunjukin lagi tadi SMS-nya? Mau dicatet,” kata yang empunya resto.
     “Oh, iya nggak pa-pa (ngeluarin HP dan nyari SMS). Ini Pak ... X15 blablabla ... (aku sebutin kode voucher-nya).”
     “Oooo iyaaa, jadi begini to caranya. Tu ... nanti kalau ada diskonan lagi, kayak gini caranya,” kata empunya resto ke mas-mas barista. Mereka cuma ber-“iya Pak” dan manggut-manggut.
     Fiuh, udah selesai nih ya? Aku boleh makan kan, ya?
     Nggak, ternyata ada yang lebih mengangetkan.
     Jadi ceritanya, udah selesai makan dan mau bayar minumannya (aku cuma pesan Minute Maid Fruit Boost dan adekku pesan Coca Cola). Di kasir, aku kaget banget. Yang empunya resto langsung mendekati penjaga kasir dan bilang ke aku,
     “Totalnya 32.500, Mbak.”                
Aku terbelalak dan diem. Ngelihat aku diem, yang empunya resto lalu njelasin.
     “Jadi gini, Mbak. Kan tadi Nasi Ayam Suwir dan Mie Tek-Tek seharga 9.500 dan 8.000. Totalnya 17.500. Untuk minumnya 14.000. Jadi semuanya 32.000.”
     Setelah jelasin, yang empunya resto kasih notanya ke aku. Aku cuma liatin dan perhatiin. Apa maksudnya? Kenapa aku musti bayar lagi? Terus aku bilang, “Tapi yang 17.500 untuk makanannya udah aku transfer, Pak. Makanya aku dapat SMS kode voucher tadi.” Entah kenapa aku merasa nadaku ketika ngomong itu agak ketus, padahal nggak sengaja lho.
     “Ooooo, wah ada miskom lagi nih. Jadi mbaknya udah transfer, ya? Bentar.” Lalu yang empunya resto pergi dan tanya sama orang-orang di dalem. Sembari nunggu, mas penjaga kasir tanya,
     “Maaf ya, Mbak. Agak ribet. Ini pertama kalinya ada diskonan gini. Kok mbaknya bisa tahu?”
Aku senyum manis dan bilang, “Iya, Mas, nggak pa-pa. Dari web diskon.com. Aku liat ada yang menarik, lalu klik beli deh.” Hwehehehehe, berasa super gitu. Masnya manggut-manggut aja. Semoga bisa kasih pencerahan ke masnya kalau makan enak nggak melulu musti mahal.
     Dan, datanglah yang empunya resto. “Oh iya Mbak, ini udah jelas sekarang. Jadi mbaknya cuma bayar minum 14.000 karena udah transfer 17.500.” Lalu, beliau beralih ke penjaga kasir dan ngomong agak tegas, “Jadi Mbaknya cuma bayar 14.000. Tadi uangnya berapa? 50.000? Jadi kembaliannya berapa?”
Mas penjaga kasir agak gelapan dan grogi dan kasih kembalian ke aku. “Ini Mbak.”
     Aku senyum lebih manis dan terima kembaliannya. Yang empunya resto, kali ini sama orang-orang di dalam yang tadi beliau ajak ngobrol, bilang ke aku, “Makasih ya, Mbak. Maaf kalau agak ribet dan miskom. Ini baru pertama soalnya.”
     “Nggak pa-pa. Biar nanti kalau ada yang pake diskonan lagi nggak kaget. Hehehe.”
Setelah ber-hehehe dan basa-basi dikit, aku dan adikku segera capcyus ke parkiran.
     Fiuuuhhh, akhirnyaaaa selesailah misi makan diskonan.
     *Setelah kejadian ini, jadi laper lagi. Capeeekkk*

Like/dislike
Aku suka desain temboknya. Bagus.
Aku suka pelayanannya. Cepat.
Aku suka Nasi Ayam Suwir tanpa kecombrang.
But,
Aku nggak suka kecombrangnya (hahahaha, ini alasan pribadi sih. Bagi yang suka bunga kecombrang, pasti ini bisa jadi favorit J).

Ps: Pelajaran berharga nih. Lain kali, kalau mau nuker voucher diskonan, lebih baik jangan pas awal-awal diskonan. Daripada mengalami hal yang kayak tadi. Sabar aja dulu. Liat-liat lagi siapa tahu ada diskonan lain yang lebih kece. Tapi kalau pengin baik hati, nggak pa-pa juga kalau mau nyobain awal diskonan, siapa tahu bisa membantu banyak orang. J
Parkir geratissss.





Monday, 19 May 2014

Embung Banjaroya

Minggu, 11 Mei 2014

     Sebenernya, nemu embung ini secara nggak sengaja. Balik dari Sendangsono, tengok kiri, ketemulah embung ini. Kalau dari Sendangsono, setelah ketemu pertigaan balik ke Jogja, ambil jalan lurus. Tak lama, ketemulah Embung Banjaroya.

Sedikit tentang
     Embung Desa Banjaroya memiliki luas 60 x 80 m2, dengan kedalaman 4 m. Mampu menampung air sekitar 8.000-10.000 m2. Embung ini berfungsi untuk menampung air hujan dan untuk mengairi puluhan hektar tanaman dan pohon durian di sekitarnya. Pohon durian? Yup, banyak pohon durian di sekitar Kalibawang. Memasuki kawasan embung ini, pengunjung akan langsung disambut durian gedhe buanget dengan tulisan di bawahnya: Durian Kuning Menoreh.


How to get there?
     Embung Banjaroya terletak di Pedukuhan Tonogoro, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang. Dari UGM ke embung ini memerlukan waktu sekitar 1 jam.
     Jalan menuju embung ini sama dengan jalan ke Sendangsono. Bedanya, setelah ketemu pertigaan kalau ke kiri ke Sendangsono, justru ambil arah kanan. Nah, tak lama, lebih kurang 5 menit, ketemulah Embung Banjaroya.
     Biar lebih afdol, ini dia ancer-ancernya:
     Perempatan ring road Godean ke barat – Pasar Godean ke barat – Perempatan Gedongan (yang ada warung sate dan swalayan Purnama) ke barat – Perempatan Kenteng ke utara (ambil arah Magelang/Muntilan) – Perempatan Dekso (yang ada tugu di tengahnya) ke utara (ambil jalan lurus) – luruuuuusssssssss aja terus (terus ambil arah Magelang/Muntilan) – pokoknya masih lurus terusssssssssss – sampai ada plang ke kiri Sendangsono; lurus Magelang – nah, ini baru belok kiri ambil arah ke Sendangsono – ada pertigaan, ambil kanan – ikuti jalan aja terus – sampai deh di Embung Banjaroya.

Ada apa di sana?
     Apa yang bisa dilihat dari sebuah embung? Tentu air. Juga pemandangan yang keren di sekitarnya. Dan lagi, durian gedhe yang menyambut.
     Banyak yang membandingkan Embung Banjaroya ini dengan Embung Nglanggeran. Memang lebih populer Embung Nglanggeran, karena Embung Nglanggeran lebih dulu "lahir" dengan pemandangan bukit di belakangnya serta sunset yang memukau. Tapi, Embung Banjaroya ini juga nggak kalah indah, lho, sebenernya. Hanya saja, embung ini baru aja selesai dibangun dan masih sepi pengunjung. Ada, sih, pengunjung. Kemungkinan mereka adalah penduduk setempat atau beberapa orang yang mampir dari Suroloyo atau Sendangsono.

Like/dislike
Aku suka angin yang berembus: segar dan dingin.
Aku suka kebersihan dan ketenangannya.
Aku suka anak kecil yang bermain layang-layang di sekitar situ. Itu tandanya, embung itu cukup aman untuk tempat bermain, bahkan untuk anak-anak.
Aku suka jenis tanaman di sekitar situ, ngingetin sama tanaman di rumah yang udah lama mati L.
Gratis alias nggak dipungut biaya. Parkir pun nggak ada tarif. (Jadi, ada baiknya jaga baik-baik helm/motor. Waspadalah! Waspadalah!)
But,
Panasnya itu, loh. Banget banget bangeeettt. Mungkin karena aku ke situ ketika matahari sedang panas-panasnya. Lebih baik, agak sorean. Mungkin bisa nikmatin sunset kayak di Embung Nglanggeran. Kayaknya keren juga. Hmmm, kapan-kapan ke situ lagi, ah. Semoga emang dapet sunset yang keren.

Bujet
Bensin 10.000 (Sebeneranya 20.000. Tapi, karena dibagi dua, jatuhnya cuma 10.000).
Camilan 5.000 (Nggak ada warung makan, tapi ada penjual bakso tusuk yang lagi mangkal. Lumayan buat ngganjel perut balik ke kos :D).
Totalnya cuma 15.000. Tapi, kalau nggak pake beli bakso tusuk, cuma 10.000. Murah meriah bin terjangkau. Dan cuma 0 rupiah kalau cuma mampir dari Sendangsono atau Suroloyo. 

Foto
Disambut secara meriah.

Diperhatiin, yaaa.

Panorama sekitar. Sejuk.

Air di embung.
Sisi kanan embung.


Ini tanaman yang bikin kangen. Yang di rumah udah lama mati :(.


Ps: Seriusan deh, pengin ke sana lagi ketika pada jam-jam sunset gitu. Kayaknya keren. Embung Banjaroya kurang diketahui dan nggak sepopuler Embung Nglanggeran. Jadi, kayaknya romatis banget kalau nikmatin sunset di sini bersama orang terkasih. Sepiiii dan tenaaanggg. Asal, jangan kemaleman. Ntar digerebek :P.


Sendangsono

Minggu, 11 Mei 2014
     Setelah Suroloyo, kini giliran Sendangsono. Dua tempat wisata ini bertetangga, tetapi memiliki daya tarik yang berbeda. Bila Suroloyo memiliki panorama yang indah banget, Sendangsono memanjakan penikmatnya dengan arsitektur yang memukau dan ketenangan yang positif. Yup, Sendangsono adalah salah satu tempat wisata religi.

Sedikit tentang
     Secara harfiah, Sendangsono berarti mata air di bawah pohon sono. “Sendang” artinya ‘mata air’, sedangkan “sono” artinya ‘pohon sono’.  Konon katanya, Sendangsono merupakan tempat istirahat para pejalan kaki dari Kecamatan Borobudur-Magelang ke Kecamatan Boro-Kulonprogo atau sebaliknya. Kenapa? Karena adanya mata air yang muncul di atara dua pohon sono.
     Berbicara tentang Sendangsono, tentu tak bisa lepas lingkaran sejarah Gereja Katolik di Pulau Jawa.   Romo Van Lith Sj., rohaniawan Belanda yang lama tinggal di Pulau Jawa, adalah salah seorang rohaniawan yang menyebarkan agama Katolik di Pulau Jawa. Pada 14 Desember 2014, beliau membaptis 141 warga setempat dengan air dari kedua pohon sono.
     Sendangsono juga disebut sebagai Gua maria Lourdes. Kenapa? Konon katanya, pada tahun 1945, pemuda Indonesia yang berziarah ke Lourdes membawa batu tempat penampakan Bunda Maria untuk ditanamkan di bawah kaki Bunda Maria Sendangsono. Sementara, Patung Bunda Maria itu sendiri, yang ada di Sendangsono, dipersembahkan oleh Ratu Spanyol. Para warga Kalibawang bergotong royong membawanya naik dari Desa Sentolo.
     Bangunan yang keren di Sendangsono tentu memiliki sejarah. Seperti kapel utama yang terdapat relief pembaptisan oleh Romo Van Lith Sj. Juga Kapel Bunda Maria dan Kapel Para Rasul yang ngingetin pengunjung akan perjuangan Bunda Maria dan 12 Rasul Kristus.
     Ada juga, lho, mitos tentang sendangnya. Konon katanya, bila kita membawa pulang air sendang dan meminumnya, berkah akan mengalir dalam diri kita. Mmm, nggak tahu benar atau nggak-nya, soalnya aku nggak nyobain minum airnya, cuma buat cuci tangan dan muka. Tapi serius, seger banget airnya. Dan, udah banyak keran yang mengalirkan airnya. Jadi, nggak susah lagi kalau mau bawa oleh-oleh air dari pohon sono J.

How to get there?
     Sendangsono ada di Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Dari UGM, waktu tempuhnya sekitar 1 jam.
     Syukurlah, perjalanan ke Sendangsono nggak pakai nyasar. Rutenya memang cenderung mudah (mungkin karena sebelumnya aku pernah ke Suroloyo, jadi lumayan tahu rutenya). Perempatan ring road Godean ke barat – Pasar Godean ke barat – Perempatan Gedongan (yang ada warung sate dan swalayan Purnama) ke barat – Perempatan Kenteng ke utara (ambil arah Magelang/Muntilan) – Perempatan Dekso (yang ada tugu di tengahnya) ke utara (ambil jalan lurus) – luruuuuusssssssss aja terus (terus ambil arah Magelang/Muntilan) – pokoknya masih lurus terusssssssssss – sampai ada plang ke kiri Sendangsono; lurus Magelang – nah, ini baru belok kiri ambil arah ke Sendangsono – ikuti jalan aja terus – ada pertigaan ambil arah kiri – ada pertigaan lagi (atau perempatan ya? Soalnya agak menceng dan jalannya kecil) yang ada penunjuk jalan ke Gereja Promasan dan Sendangsono, ambil jalan lurus ke Sendangsono – sampai deh di Sendangsono. Sepanjang jalan nanti bakalan ditemui banyak penunjuk jalan arah ke Sendangsono, jadi nggak perlu khawatir. Pemandangan kiri-kanan? Baguusss bangeeetttt!

Aral melintang
     Ini bukan aral melintang, sih, sebenernya. Jadi gini, setelah keluar dari area parkir, aku dan partner  ambil arah kanan. Itu jalan menanjak. Dan kami jalan kaki. Hosh hosh hosh. Bisa dibayangin nggak? Badan sampai bungkuk-bungkuk karena berjalan di kemiringan 450. Sebenarnya nggak sampai 10 menit (itu pun aku pake berhenti). Akhirnya, sampailah kami di papan penunjuk seperti ini:

     Setelah kamu turun dan menikmati Sendangsono ... alamak, ternyata jalan keluar kami malah jalan masuk hahaha. Banyak pedagang suvenir dan makanan. Dan ada gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Sendangsono”. Jadi kami salah jalan, nih? Kebalik gitu? Hahahaha.


Like/dislike
     Aku suka ketenangan yang ada di Sendangsono. Begitu menginjakkan kaki, hawa sejuk menyapa dan kicauan burung mengalun. Asri, indah, tenang, teduh ... membuat hati damai. Banyak orang berkunjung, tetapi mereka tenang. Mungkin karena ada beberapa orang yang sedang beribadah. Tapi, ini yang membuatku salut. Toleransi sangat dijunjung tinggi.
     Sendangsono juga bersih dan terawat. Bahkan, toiletnya aja bersih, loh.
     Arsitekturnya? Nggak usah dipertanyakan. Bahkan, Sendangsono mendapat penghargaan IAI Award pada tahun 1991. Memang keren banget. Semua arsitekturnya terawat, bersih, dan memiliki daya tarik. Tangga sarang lebah (aku menyebutnya begitu karena tiap petaknya berbentuk segi enam :D) sangat unik. Kapel-kapel yang terawat. Taman-taman yang hijau dan asri. (Jadi pengen bikin taman kayak gitu di rumah).
Aku suka para pedagangnya yang sopan. Mmm, maksudnya, mereka nggak harus nawarin  barang dagangannya secara paksa. Ada, kan, beberapa pedangang yang suka nyodor-nyodorin dagangannya gitu. Malah membuat kita sebagai pengunjung merasa risih. Tempat jualan juga rapi. Bahkan, arsitekturnya juga keren. Kalau mau beli tasbih, air mineral, air sendang, atau makanan B2, bisa banget beli di sini. Bahkan ada yang jual gula merah dan makanan khas Kulon Progo.
     Kayaknya, hampir nggak ada negatifnya. Semuanya keren, teratur, rapi, indah, ... dan yang pasti cocok untuk siapa pun yang butuh ketenangan J.

Bujet
Bensin 10.000 (Sebenernya 20.000. Tapi, seperti biasa, dibagi dua jadi cuma 10.000)
Parkir 1.000
Totalnya cuma 11.000. Aduh, hebat banget, kan? Kecuali kalau beli sesuatu buat oleh-oleh. Bakalan nambah, sih. Bergantung beli oleh-oleh apa.

Foto























Ps: Nggak ada tiket masuk, yang ada cuma tarif parkir 1.000 rupiah. Huawww banget, kan?